/*CB Top Menu*/ #top{margin:auto;padding: 0;width: 100%;background:#eeeded;border-bottom:1px solid #ddd;} #top-wrap{margin:auto;padding: 0;width: 1110px;background:#eeeded;} #navwrap {margin: 0px auto; width:560px; float:left;background:#080705;} .topnav ul {list-style:none;margin:0;padding:0px; float:left;} .topnav li {float:left;margin:0;text-align:center;} .topnav li a {font-family: arial; font-weight:bold; font-size:11px;display:block;padding:10px 10px;color:#222;text-decoration:none; text-transform:uppercase;} .topnav li a {background:none; } .topnav li a:hover, li a:focus, li a:active {text-decoration:none; background:#ffffff; color:#000000;} #navbar-iframe {display: none !important;}

Wednesday, December 23, 2015

WASPADA...!!! MAKANAN FOVORIT KITA BISA SAJA MENGANDUNG 3 ZAT INI

Makanan merupakan unsur yang sangat penting untuk tubuh karena darinyalah tubuh kita dapat memperoleh nutrisi baik makronutrient maupun mikronutrient. Pasti sebagian pembaca bingung kan..,? Apa sih makro dan mikronutrient itu? Saya jelaskan dengan contoh ya...! Jadi makronutrient itu adalah unsur nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang tinggi seperti karbohidrat, protein, dan lipid/lemak. Sedangkan mikro nutrient itu adalah unsur nutrisi yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang sedikit seperti Vitamin dan Mineral.

Nutrisi yang baik tentunya berasal dari sumber makanan yang baik pula, bebas dari pestisida dan zat-zat kimia berbahaya lainnya. Nah... apa jadinya makanan yang kita konsumsi selama ini sebagian atau seluruhnya mengandung zat kimia seperti FORMALIN, BORAKS, RODHAMIN B (pewarna tekstil) ? Dan apa jadinya jika setiap hari ternyata makanan kita tidak lepas dari zat itu??
Akibatnya fatal lho.. sobat.., mulai dari keracunan, alergi kulit, merangsang pertumbuhan sel kanker, merusak sistem saraf pusat (SSP), merusak sistem pencernaan, dan bahkan dapat menimbulkan kematian. Wiiii... Ngeriiii...!!!

Sampai saat ini masyarakat masih dihebohkan oleh penemuan zat-zat berbahaya tersebut oleh BPOM saat melakukan sidak dan inspeksi di pasar-pasar baik tradisional maupun modern. Kita bisa lihat di TV, baca di koran, di Sosmed, bahkan di Radiopun ada lho... !
Dan Al hasil banyak diantaranya ditemukan 3 zat tersebut. Pada akhir Desember 2012 saja BPOM menemukan Formalin, Boraks, dan Pewarna Tekstil pada 761 sampel yang diuji dilaboratorim di wilayah Bandar Lampung, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Mataram, dan Makassar.
Memang sih sob... baru sebagian wilayah, tapi tidak menutup kemungkinan seluruh masyarakat indonesia bahkan dunia telah mencicipi zat ini!!!! Pantas saja banyak kejadian keracunan makanan di mana-mana, usia harapan hidu menurun, dan penderita kanker setiap tahunnya meningkat. Ternyata Oh... Ternyata.... 3 Serangkailah Penyebabnya. Bisa Jadi...

Berikut ini adalah 6 makanan yang paling sering menjadi langganan Formalin, Boraks, dan Pewarna Tekstil, apakah itu...???????

1. BAKSO


Apa.........? Bakso...? Ternyata si bundar ini ada di rangking I. Wah gawat..., ini makanan favorit saya juga lho. Dan bahkan sebagian besar teman pembaca juga suka dengannya. Mulai dari anak-anak sampai kakek dan nenek juga doyan dengan si bundar ini. Akhir tahun 2015, Makassar dihebohkan oleh penemuan daging tikus pada bakso, dan kebetulan dekat dengan rumah, kerabat saya pun sering jajan di sana. Nah sekarang Formalin lagi! Boraks lagi! Kenapa selalu dia yang jadi sasaran. Jadi teman-teman harus waspada jika berjumpa dengan bakso dengan ciri-ciri seperti berikut : teksturnya kenyal, warnanya tidak kecokelatan dan cenderung putih, baunya menyengat, dan tidak rusak sampai 2 hari lho pada suhu kamar 25 derajat celsius.


2. MIE BASAH

Nah yang kedua adalah si kriting ini. Siapa sih yang tidak doyan dengan mie basah pasangan si bundar ini? Semua pasti suka dehhh...,, selain mudah penyajiannya, juga enak rasanya. Biasanya ini jadi langganan mahasiswa di seluruh Indonesia. Praktiis...! Jadi Waspadai mie basah dengan ciri-ciri seperti ini : tidak lengket, mengkilap, tidak cepat putus, baunya menyengat, tahan selama 2 hari pada suhu kamar, dan 15 hari pada suhu lemari es.




3. AYAM POTONG


Yang ketiga adalah ayam potong. Bahan makanan ini sudah menjadi makanan sehari-hari untuk masyarakat kalangan menengah ke atas. Dan bahkan kitapun bisa menemukan bahan makanan ini di hampir setiap masakan atau kuliner khas Indonesia. Mulai dari nasi goreng, mie pangsit, mie goreng, nasi kuning, ayyiii... pokoknya banyak dehh...! Hanya itu yang bisa saya sebutkan, karena hanya itulah yang biasanya saya makan. So.. teman-teman harus hati-hati jika bertemu dengan ayam dengan ciri serti berikut : teksturnya sangat kenyal, putih mengkilap, tidak dikerumuni lalat, dan baunya khas sangat menyengat.

4. TAHU


Nah yang keempat adalah si putih yang juga sudah menjadi makanan favorit saya. Tidak lengkap rasanya, jika makan tidak ditemani oleh tahu, hambar rasanya. Bagaikan sayur tanpa garam dan bagai taman tak berbunga. Ahayyy...! Langsung saja ya..., saya beritahu ciri-ciri tahu yang berformalin dan mengandung boraks. Berikut 4 cirinya : warnanya putih mengkilap, teksturnya kenyal, bau kedelainya hampir hilang, dan tidak dikerumuni lalat. Hewan saja malas mendekatinya, apalagi kita manusia yang dilengkapi dengan sistem kekebalan tubuh yang lengkap, pasti keok juga.

5. IKAN

Apa...? Ikan juga...? Ini kan menu harian kita ? Tenang saja sob, bukan berarti kita harus berhenti makan ikan, yang penting kita harus waspada saja kok. Yang penting kita harus tetap berhati-hati memilih dan memilah ikan mana yang layak untuk dikonsusmsi oleh keluarga kita. Nah ini ciri ikan yang berformalin : tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar, warna insang merah tua tidak cemerlang, bukan merah segar, daging ikan putih bersih, bau agak menyengat, dan tidak dihinggapi lalat pada area yang berlalat.

6. BUAH-BUAHAN

Ya Tuhaann.....! Formalin juga terdapat pada makanan penutup kita...!!! Ditambah lagi ini kan bertepatan dengan musim buah, dan penjual buah ada di mana-mana. Mulai dari pasar tradisional, pasar modern, pinggir jalan, dan bahkan di dekat rumah juga ada. So..., kita harus beli buah di mana?      
Di Jonggol? wkwkwkwk, bercanda sob...! Yang penting mulai sekarang kita harus lebih waspada lagi dalam memilih buah untuk diberikan kepada orang terkasih, keluarga, teman, atau mungkin untuk kita konsumsi sendiri. Aduh... saya jadi teringat waktu masa pacaran dulu. Seringkali jika saya berkunjung ke rumah si Doi, saya tidak pernah lupa bawah buah untuknya dan untuk PDKT sama CAMER biar tidak digonggong. Mulai dari buah naga, buah harimau, sampai buah...... pernah saya bawa. Kok saya jadi merasa bersalah ya..., apa mungkin buah yang saya bawa dan yang mereka makan bebas dari formalin dan zat pewarna ??? Mudah-mudahan saja buah yang sehat. Aaaamin ya Alloh...! Nah berikut adalah tips untuk mengenali buah yang berformalin dan mengandung zat pewarna : warnanya mengkilap dan jika dikerok keluar zat putih menyerupai lilin, tidak dikerumuni lalat pada area berlalat, dan dapat tahan selama berhari-hari pada suhu kamar.

Semoga bermanfaat.......! Wassalam..............

Tuesday, December 22, 2015

PILKADA MUNA BERGEJOLAK...! INILAH 5 ALASANNYA

1. Kemiskinan


Kemiskinan adalah salah satu masalah mendasar dan menjadi pusat perhatian pemerintah di Negara manapun. Karena salah satu tugas pemerintah adalah untuk mensejahterhkan masyarakatnya, bukan untuk memperkaya partai atau elite politik, kelompok, keluarga, dan diri sendiri. Saya tidak lahir di daerah tersebut, tapi saya tumbuh dan berkembang di tanah itu. 19 Tahun saya di sana dan kini sisa hidup saya ingin saya habiskan di negeri orang. Alasannya cukup kompleks diantaranya karena di sana pertumbuhan ekonomi sangat lambat, orang besar semakin kaya dan dipuja, smentara orang kecil semakin melarat dan dihina. Itulah potret yang ada. Kemiskinan dan minimnya lapangan pekerjaan menimbulkan gejolak di hati masyarakat sehingga rela menghalalkan segala cara untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah demi untuk memperthankan hidup dan kelangsungan hidup keluarga. Menurut hemat saya, hal itupun terjadi di Kab. Muna. Kec. Napabalano yang memilih jalan POLITIK sebagai cara untuk mendapatkan uang dan kedudukan.

2. Konflik Kepentingan







Konflik kepentingan terjadi di mana-mana pada setiap PILKADA, hingga kawan menjadi lawan dan keluarga menjadi musuh. Sehingga kepentingan rakyat dilupakan. Padahal itulah satu-satunya tujuan pejabat publik yaitu untuk melayani rakyatnya. Konflik kepentingan seringkali menjadikan kaum intelek lupa dengan etika dan sopan santun dalam berkomunikasi dan berperilaku hingga akhirnya mempertahankan ego masing-masing. Dan akhirnya terjadilah konflik yang pada akhirnya menimbulakan perang kata-kata dan yang lebih parah lagi sampai terjadi benturan fisik.

3. SDA & SDM Melimpah, Pemerintah Pasif



Tidak ada satupun yang meragukan kekayaan alam kabupaten muna di mulai dari darat hingga laut. Bahkan hutan jatinya pun tersohor di seluruh belahan bumi. ckckckck.... tapi itu kan dulu 10 tahun silam. Lagi-lagi karena kemiskinan dan minimnya lapangan kerja, akhirnya hutan jatinya dicukur habis sampai gundul. Terumbu karangnya wow banget...., tapi itu dulu lagi...! Nah ini yang sekarang potensi destinasi wisatanya banyak dan tidak kalah menarik dengan tempat wisata lain di Indonesia, tapi pemerintahnya malas memoles supaya kelihatan cantik. Investorpun malas masuk karena takut mobilnya rusak alias jalanannya banyak lubang buayanya. Ahayy... lagi-lagi pemerintah masih tidur dan tidak menyadari hal itu. Habis tidur Bangun Lagi. hahahah Mbak Surip.
Nah yang paling miris lagi, Sebuah Masjid saja tidak bisa dibangun dalam jangka waktu 10 tahun!!!! Ya Ampun....., berkacalah pada daerah lain. Kira-kira apa penyebabnya? Apa SDMnya kurang? Ternyata SDMnya melimpah, tapi tidak difasilitasi dan tidak diberikan kesempatan untuk berkembang. Dan pada akhirnya mereka saling memangsa satu sama lain untuk mendapatkan nama di hati pemerintah.

4. Krisis Etika

Etika itu tidak bisa dipelajari hanya dengan membaca, sekalipun puluhan buku yang dibaca dalam sehari. Dan tidak bisa juga didapatkan melalui pendidikan formal sekalipun sampai S3 atau Profesor. Buktinya banyak profesor yang berbuat tindakan asusila. Dan etika juga tidak bisa diperoleh secara instant. Karena sesungguhnya etika adalah naluri alamiah setiap manusia yang dapat terbentuk melalui proses dan waktu yang sangat panjang. Setiap orang dewasa mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi apakah kita bisa mengatakan kebenaran dan menunjukan keburukan, jawabannya tentu tidak. Di Kampung kita (Kec. Napabalano) banyak sekali sarjana dari berbagai bidang ilmu, tapi sayang seribu kali sayang...........

5. Mencari Nama (Aktualisasi Diri)

Aktualisasi diri adalah kebutuhan dasar manusia yang paling tinggi kedudukannya menurut Abraham Harold Maslow dan setiap manusia tentunya membutuhkan hal itu, tak terkecuali saya. hehehehhe......
Aktualisasi diri adalah daya yang mendorong pengembangan diri dan potensi individu, sifatnya bawaan dan sudah menjadi ciri bagi setiap manusia. Aktualisasi diri dapat mendorong manusia menjadi kreatif dan inovatif melalui cara-cara yang baik sehingga mendapatkan pengakuan dan pujian dari lingkungan atau orang lain. Sepertinya sarjana-sarjana baru yang ada di Kabupaten Muna ini ingin menunjukan ego dan powernya masing-masing dan berlomba merebut hati masyarakat untuk mendapatkan pengakuan dan pujian. Ayolah broww...., bukan itu yang mereka butuhkan banyak kok cara lain. Tunjukan kreatifitas dan inovasimu tanpa harus mempermalukan dirimu sendiri hingga masyarakat dengan pendidikan rendahpun sedang menertawakanmu....

Sunday, November 1, 2015

SKRIPSI HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEJADIAN DEPRESI PADA LANSIA



ABSTRAK
Arny. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kejadian Depresi pada Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Pampang Kota Makassar (dibimbing oleh Simunati dan M. Askar)
Depresi adalah bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketidakgairahan hidup, perasaan tidak berguna dan putus asa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kejadian depresi pada lanjut usia Desain penelitian yang digunakan adalah desain kuantitatif noneksperimen dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi pada penelitian ini berjumlah 997 orang dengan jumlah sampel sebanyak 40 orang. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat 15 orang (37,5%) lansia tidak  mengalami depresi, 13 orang (32,5%) depresi ringan dan 12 orang (30%) depresi berat. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kejadaian depresi pada lanjut usia. Hal itu dibuktikan dengan adanya hubungan atau korelasi yang kuat antara dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informasi dengan kejadia depresi pada lanjut usia setelah uji statistik. Saran bagi keluarga dan masyarakat khususnya anggota keluarga yang tinggal bersama dengan lanjut usia agar lebih memperhatikan kebutuhan yang diperlukan lanjut usia dan memahami hal-hal yang menyebabkan depresi pada lanjut usia.

Kata Kunci :   Kejadian Depresi, Dukungan Emosional, Dukungan Penghargaan,
Dukungan Instrumental, Dukungan Informasi







BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup dan majunya pengetahuan dan teknologi terutama ilmu kesehatan, promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pelayanan kesehatan mengakibatkan meningkatnya umur harapan hidup manusia (life expectancy). Akibatnya jumlah orang lanjut usia akan bertambah dan ada kecenderungan akan meningkat dengan cepat. Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia akan membawa dampak terhadap berbagai aspek kehidupan, baik bagi individu lansia itu sendiri, keluarga, masyarakat maupun pemerintah (Azizah, 2011).
Saat ini, di seluruh dunia jumlah lanjut usia diperkirakan ada 500 juta dengan usia rata-rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar. Di Negara maju seperti Amerika Serikat pertambahan orang lanjut usia diperkirakan 1.000 orang per hari pada tahun 1985 dan diperkirakan 50% dari penduduk berusia di atas 50 tahun sehingga istilah Baby Boom pada masa lalu berganti menjadi “Ledakan Penduduk Lanjut Usia” (Padila, 2013).
Indonesia termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging structured population) karena dari tahun ke tahun, jumlah penduduk Indonesia yang berusia 60 tahun ke atas semakin meningkat. Berdasarkan data dari Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Kedeputian I Bidang Kesejahteraan Sosial tahun 2008, jumlah penduduk lanjut usia pada tahun 1990 kurang lebih sebesar 6,29%, selanjutnya pada tahun 2000 sebesar 7,18% dan pada tahun 2006 sebesar 8,9%. Persentase penduduk lansia tahun 2008, 2009 dan 2012 telah mencapai di atas 7% dari keseluruhan penduduk (Pusat Data & Informasi Kementrian Kesehatan, 2013).
Jika dilihat sebaran penduduk lansia menurut provinsi di Indonesia, persentase penduduk lansia di atas 10% sekaligus paling tinggi ada di Provinsi DI Yogyakarta (13,04%), Jawa Timur (10,40%), Jawa Tengah (10,34%), Bali (9,78%), Sulawesi Utara (8,45%), dan Sulawesi Selatan (8,34%) (Pusat Data & Informasi Kementrian Kesehatan, 2013).
Jumlah lanjut usia di Kota Makassar hingga tahun 2013 yaitu 28. 788 jiwa untuk lansia yang berusia 60-64 tahun. Dan 45. 955 jiwa untuk lansia yang berusia 65 tahun ke atas (Profil Dinas Kesehatan Kota Makassar, 2013).
Manusia yang muda menjadi tua merupakan proses penuaan secara alamiah yang tidak bisa kita hindari dan merupakan hukum alam. Akibat dari proses tersebut menimbulkan beberapa perubahan, meliputi perubahan fisik, mental, spiritual, psikososial, dan adaptasi terhadap stres mulai menurun. Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalahan yang menarik adalah kurangnya kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya. Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stres lingkungan sering menyebabkan gangguan psikososial pada lansia. Masalah kesehatan jiwa yang sering muncul pada lansia adalah gangguan proses pikir, demensia, gangguan perasaan seperti depresi, harga diri rendah, gangguan fisik dan gangguan perilaku (Azizah, 2011).
Depresi merupakan penyakit serius yang diderita jutaan orang dengan berbagai macam gejala. Menurut data Badan Kesehatan Dunia, saat ini sekitar 5-10% orang di dunia mengalami depresi. Penelitian yang dilakukan Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa menunjukkan, sebagian besar masyarakat Indonesia mengidap depresi tingkat yang ringan sampai berat. Hasil penelitian dokter kesehatan jiwa menunjukkan 94% masyarakat saat ini mengidap depresi. Depresi dapat mengenai seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan status sosial, ekonomi, dan pendidikan. Bahkan menurut World Health Organization (WHO), depresi adalah masalah yang serius karena merupakan urutan keempat penyakit dunia. Sekitar 20% wanita dan 12% pria, pada suatu waktu dalam kehidupannya pernah mengalami depresi (Rezki, 2014).
Depresi pada lanjut usia terus menjadi masalah kesehatan mental yang serius meskipun pemahaman kita tentang penyebab depresi dan perkembangan pengobatan farmakologis dan psikoterapeutik sudah sedemikian maju. Gejala depresi ini sering berhubungan dengan penyesuaian yang terhambat terhadap kehilangan dalam hidup dan stressor. Stressor pencetus seperti pensiun yang terpaksa, kematian pasangan, kemunduran kemampuan atau kekuatan fisik dan kemunduran kesehatan serta penyakit fisik, kedudukan sosial, keuangan, penghasilan, dan rumah tinggal sehingga mempengaruhi rasa aman lansia dan menyebabkan depresi (Friedman, 1998 dalam Azizah 2011).
Di Indonesia prevalensi depresi pada lansia tinggi sekali, sekitar 12-36% lansia yang menjalani rawat jalan mengalami depresi. Angka ini meningkat menjadi 30-50% pada lansia dengan penyakit kronis dan perawatan lama yang mengalami depresi (Mangoenprasodjo, 2004). Menurut Kaplan et all (1997), kira-kira 25% komunitas lanjut usia dan pasien rumah perawatan ditemukan adanya gejala depresi pada lansia. Depresi menyerang 10-15% lansia 65 tahun keatas yang tinggal di keluarga dan angka depresi meningkat secara drastis pada lansia yang tinggal di institusi, dengan sekitar 50-75% penghuni perawatan jangka panjang memiliki gejala depresi ringan  sampai sedang (Stanley & Beare, 2007 dalam Azizah 2011).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan tahun 2013, Provinsi Sulawesi Selatan menempati urutan kelima sebagai provinsi dengan jumlah atau persentase lansia tertinggi di Indonesia yaitu sebanyak 8,34%. Dari jumlah tersebut 3% diantaranya menderita suatu penyakit seperti penyakit degeneratif, penyakit sitemik, penyakit infeksi, penyakit kronik, dan gangguan psikososial. Gangguan psikososial yang sering dialami oleh lansia adalah depresi. Jumlah penderita depresi pada lansia pada tahun 2012-2013 di Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 1,23% dari 8,34% jumlah penduduk lansia (Pusat Data & Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2013).
Khusus di Kota Makassar, berdasarkan data yang diperoleh dari Profil Dinas Kesehatan Kota Makassar tahun 2013 dperkirakan jumlah penderita depresi pada lansia terus meningkat sekitar 1-3% setiap tahun. Mengingat usia harapan hidup yang juga semakin meningkat. Sekitar 25% lansia tinggal di institusi atau panti sosial dan 75% lansia tinggal di komunitas atau bersama keluarga. Depresi pada lansia lebih sering terjadi pada lansia yang tinggal di intitusi dibandingkan dengan lansia yang tinggal di komunitas atau bersama keluarga (Profil Dinas Kesehatan Kota Makassar, 2013).
Keluarga sebagai sumber alamiah dukungan sosial dapat memberikan empat bentuk dukungan bagi lansia yaitu dukungan emosional, instrumental, informasional, dan penghargaan (Friedman, 1998; Langford et all dalam Johnston, Brosi, Hermann & Jaco, 2011). Dukungan emosional dapat diberikan keluarga dalam bentuk perhatian, empati, sikap memahami dan memberikan kasih sayang kepada lansia (Weiss dalam Kuntjoro, 2002). Dukungan instrumental merupakan dukungan yang diberikan secara langsung dapat berupa materi atau fasilitas yang menunjang kualitas hidup lansia. Dukungan informasional dapat ditujukkan dengan memberikan informasi, nasihat ataupun saran pada lansia baik mengenai masalah kesehatan maupun  masalah kesehatan lain yang mengganggu kualitas hidup lansia. Dukungan penilaian (appraisal) dapat diberikan dalam bentuk penilaian positif terhadap lansia, penguatan, atau pembenaran melakukan sesuatu (Yusselda, 2013).
Segala bentuk dukungan keluarga yang diberikan kepada lansia secara signifikan mempengaruhi fungsi psikososial lansia, karena dengan adanya dukungan anggota keluarga dapat mempengaruhi kemampuan lansia untuk koping dan stres yang dialami lansia. Penelitian menemukan secara konsisten menemukan bahwa adanya dukungan keluarga dapat melindungi lansia dari efek stres yang berbahaya, serta dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan emosional lansia (Jang et al. dalam Miller, 2004). Sebuah studi di Hongkong oleh Wan pada tahun 1997 menemukan tiga faktor mempengaruhi kualitas hidup lansia, yaitu kesehatan yang baik, pendapatan, serta dukungan sosial (Chu, 2008). Penelitian lebih jauh pada lansia di Brazil menemukan bahwa status, kesehatan, keterlibatan sosial, dukungan sosial dari anggota keluarga, dan kondisi ekonomi merupakan determinan kualitas hidup pada lansia (Manabung, 2009).
Berdasarkan survey awal peneliti yang dilaksanakan pada tanggal 3 November 2014 bahwa jumlah lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas Pampang yang berusia > 60 tahun adalah sebanyak 2501 jiwa. Data tersebut diperoleh dari Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu kesehatan lanjut usia Puskesmas Pampang. Berdasarkan keterangan programmer kesehatan lanjut usia Puskesmas Pampang, bahwa sebanyak 12 orang lanjut usia yang tinggal sendiri dan sisanya 2.489 orang lanjut usia tinggal bersama anggota keluarganya (SP2TP Puskesmas Pampang, 2014).
Jumlah penderita depresi yang tercatat di wilayah kerja Puskesmas Pampang hingga Oktober 2014 adalah sebanyak 65 orang dan sepertiganya atau sebanyak 21 orang merupakan lanjut usia dengan tingkat depresi sedang sampai berat. Dan terdapat 11 orang penderita depresi usia > 60 tahun (SP2TP Puskesmas Pampang, 2014).
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian “Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kejadian Depresi pada Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Pampang Kecamatan Panakukkang Kota Makassar”.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat pada latar belakang, memberi dasar bagi penulis untuk merumuskan masalah penelitian sebagai berikut : “Apakah ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kejadian depresi pada lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas Pampang ?”.




C.      Tujuan Penelitian
1.         Tujuan umum
Diketahuinya hubungan yang signifikan antara dukungan  keluarga dengan kejadian depresi pada lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas Pampang.
2.         Tujuan khusus
a.         Diketahuinya hubungan yang signifikan antara dukungan emosional dengan kejadian depresi pada lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas Pampang.
b.        Diketahuinya hubungan yang signifikan antara dukungan penghargaan dengan kejadian depresi pada lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas Pampang.
c.         Diketahuinya hubungan yang signifikan antara dukungan instrumental dengan kejadian depresi pada lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas Pampang.
d.        Diketahuinya hubungan yang signifikan antara dukungan informasional dengan kejadian depresi pada lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas Pampang.
D.      Manfaat Penelitian
1.         Bagi institusi pendidikan
Dapat digunakan untuk menambah khasanah ilmu keperawatan jiwa dan dapat dimanfaatkan sebagai referensi atau acuan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan hubungan dukungan keluarga dengan kejadian depresi pada lanjut usia.

2.         Bagi perawat
Sebagai upaya pengembangan keilmuan keperawatan jiwa, sehingga mampu mengkaji hubungan dukungan keluarga dengan kejadian depresi pada lanjut usia dan melakukan upaya pencegahan depresi pada lanjut usia sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan ilmu dan kiat keperawatan demi tercapainya derajat kesehatan masyarakat khususnya lansia yang optimal.
3.         Bagi peneliti
Menambah wawasan peneliti tentang hubungan antara dukungan keluarga dengan kejadian depresi pada lanjut usia, sehingga dapat memberikan penanganan yang optimal dan memberikan sumbangan pemikiran mengenai gangguan depresi yang terjadi pada lanjut usia.
4.         Bagi keluarga dan lanjut usia
Dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya dukungan keluarga agar dapat mencegah terjadinya depresi pada lanjut usia.

Ingin mendapatkan selengkapnya hubungi : mukminsaid@gmail.com atau tinggalkan pesan anda.

SKRIPSI HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KETERATURAN BEROBAT PADA PENDERITA TB PARU



ABSTRAK
Mukmin. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Keteraturan Berobat pada Penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Pampang Kota Makassar (dibimbing oleh Darwis dan Musdalifah Hanis).
Penyakit tuberkulosis paru (TB  paru) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang menyerang paru-paru dan bronkus. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan keteraturan berobat pada penderita TB paru. Desain penelitian yang digunakan adalah desain kuantitatif noneksperimen dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi pada penelitian ini berjumlah 61 orang dengan jumlah sampel sebanyak 38 orang. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat 7 orang (18,41%) penderita TB paru yang tidak teratur berobat dan 31 orang (81,57%) teratur dalam menjalani pengobatan. Responden dengan dukungan emosional tinggi sebanyak 29 orang (76,31%) dan rendah sebanyak 9 orang (23,68%). Responden dengan dukungan penghargaan tinggi sebanyak 30 orang (78,94%) dan rendah sebanyak 8 orang (21,05%). Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan emosional dan dukungan penghargaan dengan keteraturan berobat pada penderita TB paru. Dan tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan instrumental dan informasi dengan keteraturan berobat pada penderita TB paru. Saran bagi keluarga dan masyarakat khususnya anggota keluarga yang tinggal bersama dengan penderita TB paru agar lebih memperhatikan kebutuhan yang diperlukan penderita dengan memberikan dukungan dan motivasi serta pengawasan agar tetap konsisten dalam menjalani pengobatan.
Kata Kunci :   Keteraturan Berobat, Dukungan Emosional, Dukungan Penghargaan,
Dukungan Instrumental, Dukungan Informasi







BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis paru (TB  paru) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang menyerang paru-paru dan bronkus. Pengendalian penurunan TB Paru menjadi salah satu target dalam pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) yang menjadi salah satu prioritas  utama bangsa Indonesia untuk mempercepat pembangunan manusia dan pemberantasan kemiskinan. TB Paru masuk pada poin 6 MDGs setelah penyakit HIV/AIDS dan Malaria. Target yang ingin dicapai adalah mengurangi separuh prevalensi TB dan kematian akibat TB pada tahun 2015 (Widyanto & Triwibowo, 2013).
Penyakit Tuberkulosis paru telah dikenal lebih dari satu abad yang lalu, yakni sejak ditemukannya kuman penyebab Tuberkulosis oleh Robert Koch tahun 1882, namun sampai saat ini penyakit Tuberkulosis (TB) masih tetap menjadi problema kesehatan di seluruh dunia dan sebagai penyebab kematian utama yang diakibatkan oleh penyakit infeksi. Pada April 1993 World Health Organization (WHO) menyatakan TB sebagai suatu problema kesehatan masyarakat yang sangat penting dan serius di seluruh dunia serta merupakan penyakit yang menyebabkan kedaruratan global (Global Emergency), karena satu dari 3 penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi dengan Mycobacterium tuberkulosis (disebut juga Basil Tahan Asam = BTA) sebagai kuman penyebab TB yang dibuktikan dengan pemeriksaan Mantoux tes 2. Sekitar 95% penderita TB terdapat di negara sedang berkembang dengan sosioekonomi rendah termasuk Indonesia dan 75% dari penderita TB tersebut terjadi pada usia produktif. Setiap tahun terdapat sekitar 4 juta penderita baru TB paru menular di dunia. Menurut WHO diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 8,74 juta penderita baru TB dan akan menjadi 10,2 juta penderita baru TB pada tahun 2005. Di kawasan Asia Tenggara diduga terjadi lebih dari 3,5 juta penderita baru TB dan lebih dari 1,3 juta kematian akibat penyakit ini, dan diperkirakan pada tahun 2005 terdapat 3 juta penderita baru TB (Hutapea, 2009).
Secara global, tahun 2000 tercatat sebanyak 8,3 juta orang menderita TB Paru. Data tahun 2006 menunjukan sebanyak 9,24 juta orang menderita TB Paru. Pada tahun 2008 terdapat sebanyak 9,4 juta penderita baru TB Paru dari sebelumnya berjumlah 9,27 juta pada akhir tahun 2007. Data-data tersebut menunjukan bahwa angka kejadian TB Paru semakin meningkat setiap tahunnya (Widyanto & Triwibowo, 2013).
WHO dalam global tuberculosis control tahun 2009 pernah merilis bahwa Indonesia pernah menempati urutan ketiga sebagai Negara dengan jumlah kasus TB Paru terbanyak setelah India dan Cina sampai akhir periode 2007. Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2010, TB paru merupakan pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan peringkat tiga dalam daftar sepuluh penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia yang menyebabkan sebesar 88.000 kematian setiap tahunnya. Dinegara-negara berkembang kematian penderita penyakit TB paru merupakan 25% dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Laporan WHO pada tahun 2010, mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TB paru sebesar 429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar pada tahun 2010 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (Kompas, 2011).
Penderita TB paru yang tercatat di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 20011 sebanyak 4.626 suspek (penemuan kasus baru sebanyak 2.167 orang dan kasus lama sebanyak 17 orang), dengan angka kesembuhan sebesar 61,5%. Bila dilihat menurut tempatnya, jumlah suspek terbanyak ditemukan di Kota Makassar (16,48%), Gowa (4,79%), Wajo (3,94%), Takalar (3,38%) dan Soppeng (2,34%) (Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan).
Khusus di Kota Makassar, berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Bina Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar, angka penemuan penderita baru TB Paru BTA (+) tahun 2013 sebanyak 72,44 % (ditemukan 1.811 penderita dari sebanyak 2.500 sasaran), jumlah ini meningkat dari tahun 2012 dengan jumlah penderita sebanyak 1.324 dari 1.641 sasaran. Jika dibandingkan target 2013 sebesar 70% maka tingkat capaian melebihi target dengan persentase capaian 72,44%. Proses penemuan penyakit TB dilakukan oleh pengelolah TB masing-masing Puskesmas melalui pelacakan/pencarian kasus baru, pelacakan penderita mangkir dan pemeriksaan kontak (Profil Dinas Kesehatan Kota Makassar, 2013).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Bina Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar, angka penemuan penderita baru TB Paru BTA (+) tahun 2013 masih relatif tinggi terutama pada 4 Puskesmas berikut : Puskesmas Kaluku Bodoa sebanyak  61 kasus baru dengan jumlah seluruh kasus sebanyak 97 orang, Puskesmas Kassi-Kassi sebanyak 56 kasus baru dengan jumlah seluruh kasus 108 orang, Puskesmas Tamalate sebanyak 38 kasus baru dengan jumlah seluruh kasus sebanyak 81 orang , dan Puskesmas Pampang sebanyak 35 kasus baru dengan jumlah seluruh kasus sebanyak 63 orang (Profil Dinas Kesehatan Kota Makassar, 2013).
Target penurunan angka kesakitan dan kematian akibat TB paru dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangkah Menengah) 2010-2014 adalah 235 jumlah kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2010 menjadi 224 kasus di tahun 2014, 73% jumlah kasus baru TB paru yang ditemukan pada tahun 2010 menjadi 90% di tahun 2014, dan 85% jumlah kasus baru TB paru (BTA positif) yang berhasil disembuhkan pada tahun 2010 menjadi 88% di tahun 2014 (Stranas Pengendalian TB Paru, 2010-2014).
Berdasarkan target pencapaian tersebut, diharapkan jumlah kasus TB paru  dapat menurun, persentase kasus baru yang ditemukan meningkat, dan persentase keberhasilan pengobatan TB paru (BTA positif) juga meningkat di seluruh daerah di Indonesia. Puskesmas sebagai pusat pelayanan primer kesehatan masyarakat diharapkan dapat mewujudkan target pencapaian RPJMN tersebut dengan terus melakukan upaya agar dapat mengendalikan prevalensi TB paru dan meningkatkan keberhasilan dalam pengobatan TB paru (BTA positif) tanpa ada penderita yang gagal sembuh, meninggal ataupun DO (Drop Out).
Puskesmas Pampang merupakan salah satu Puskesmas dengan angka penderita TB Paru tertinggi keempat di Kota Makassar. Jumlah seluruh kasus TB paru di Puskesmas Pampang tercatat pada bulan Januari sampai dengan Juni 2014 adalah sebanyak 115 orang dinyatakan sebagai suspek TB Paru.  Dan 61 orang dinyatakan sebagai pasien TB paru yang berobat jalan di Puskesmas Pampang hingga bulan Oktober. Jumlah penderita yang masih melakukan pengobatan hingga bulan Desember sebanyak 34 orang, penderita sembuh sebanyak 14 orang, penderita yang gagal sembuh sebanyak 6 orang, tidak ada pasien yang meninggal dunia atau pun pindah, dan penderita yang mengalami drop out (DO) sebanyak 7 orang (Catatan Program TB paru Puskesmas Pampang, Januari-Juni 2014).
Salah satu faktor penting yang dapat berkontribusi dalam pengobatan TB paru yaitu dukungan dari keluarga kepada penderita. Dukungan keluarga sangat menunjang dengan cara selalu mengingatkan penderita agar minum obat, pengertian yang dalam terhadap penderita yang sedang sakit, dan memberi semangat agar tetap rajin berobat diharapkan dapat menunjang keberhasilan pengobatan TB paru. Dukungan keluarga diperlukan untuk mendorong penderita TB paru dengan menunjukkan kepedulian dan simpati, dan merawat penderita. Dukungan keluarga yang melibatkan keprihatinan emosional, bantuan dan penegasan, akan membuat penderita TB paru tidak kesepian dalam menghadapi situasi serta dukungan keluarga dapat memberdayakan penderita TB paru selama masa pengobatan dengan mendukung terus menerus, seperti mengingatkan penderita untuk mengambil obat-obatan dan menjadi peka terhadap penderita TB paru jika mereka mengalami efek samping dari obat TB. Oleh karena itu, lemahnya dukungan keluarga dapat menjadi salah satu faktor penyebab ketidakteraturan penderita TB paru dalam melakukan pengobatan (Septia Asra, 2013).
Berdasarkan uraian singkat pada latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang “Hubungan dukungan keluarga dengan keteraturan berobat pada penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Pampang ?”
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat pada latar belakang, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan keteraturan berobat pada penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Pampang?”
C.      Tujuan Penelitian
1.         Tujuan umum
Diketahuinya hubungan yang signifikan antara dukungan  keluarga dengan keteraturan berobat pada penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Pampang.
2.         Tujuan khusus
a.         Diketahuinya hubungan yang signifikan antara dukungan emosional dengan keteraturan berobat pada penderita TB Paru.
b.        Diketahuinya hubungan yang signifikan antara dukungan penghargaan dengan keteraturan berobat pada penderita TB Paru.
c.         Diketahuinya hubungan yang signifikan antara dukungan instrumental dengan keteraturan berobat pada penderita TB Paru.
d.        Diketahuinya hubungan yang signifikan antara dukungan informasional dengan keteraturan berobat pada penderita TB Paru.
D.      Manfaat Penelitian
1.           Bagi institusi pendidikan
Dapat digunakan untuk menambah khasanah ilmu keperawatan komunitas dan dapat digunakan sebagai referensi atau acuan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan hubungan dukungan keluarga dengan keteraturan berobat pada penderita TB Paru.
2.           Bagi keperawatan
Sebagai upaya pengembangan keilmuan keperawatan komunitas, sehingga mampu mengkaji hubungan dukungan keluarga dengan keteraturan berobat pada penderita TB Paru dan melakukan upaya pencegahan agar tidak terjadi ketidakteraturan dan drop out dalam berobat sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan ilmu dan kiat keperawatan demi tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
3.           Bagi peneliti
Menambah wawasan peneliti tentang hubungan antara dukungan keluarga dengan keteraturan berobat pada penderita TB Paru sehingga dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk dijadikan sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya.
4.           Bagi keluarga
Dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman keluarga tentang pentingnya dukungan keluarga agar tetap memberikan dukungan dan motivasi kepada penderita TB Paru untuk tetap patuh dan teratur dalam berobat demi tercapainya kesembuhan yang optimal.
Ingin mendapatkan lengkapnya hubungi : mukminsaid@gmail.com atau tinggalkan pesan anda.