Sunday, November 1, 2015
SKRIPSI HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEJADIAN DEPRESI PADA LANSIA
ABSTRAK
Arny. Hubungan
Dukungan Keluarga dengan Kejadian Depresi pada Lanjut Usia di Wilayah Kerja
Puskesmas Pampang Kota Makassar (dibimbing oleh Simunati dan M. Askar)
Depresi
adalah bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketidakgairahan
hidup, perasaan tidak berguna dan putus asa. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kejadian depresi pada
lanjut usia Desain penelitian yang digunakan adalah desain kuantitatif noneksperimen dengan menggunakan pendekatan cross
sectional. Populasi
pada penelitian ini berjumlah 997 orang dengan jumlah
sampel sebanyak 40 orang. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat 15 orang
(37,5%) lansia tidak mengalami depresi,
13 orang (32,5%) depresi ringan dan 12 orang (30%) depresi berat. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
uji chi-square dengan tingkat
kemaknaan α = 0,05. Kesimpulan
dari penelitian ini bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kejadaian depresi pada lanjut
usia. Hal itu dibuktikan dengan adanya hubungan atau korelasi yang kuat antara
dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan
instrumental dan dukungan informasi dengan kejadia depresi pada lanjut usia setelah uji statistik. Saran bagi keluarga dan masyarakat khususnya
anggota keluarga yang tinggal bersama dengan lanjut usia agar lebih
memperhatikan kebutuhan yang diperlukan lanjut usia dan memahami hal-hal yang
menyebabkan depresi pada lanjut usia.
Kata
Kunci : Kejadian Depresi, Dukungan
Emosional, Dukungan Penghargaan,
Dukungan
Instrumental, Dukungan Informasi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kemajuan ekonomi,
perbaikan lingkungan hidup dan majunya pengetahuan dan teknologi terutama ilmu
kesehatan, promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pelayanan kesehatan
mengakibatkan meningkatnya umur harapan hidup manusia (life expectancy). Akibatnya jumlah orang lanjut usia akan bertambah
dan ada kecenderungan akan meningkat dengan cepat. Peningkatan jumlah penduduk
lanjut usia akan membawa dampak terhadap berbagai aspek kehidupan, baik bagi
individu lansia itu sendiri, keluarga, masyarakat maupun pemerintah (Azizah,
2011).
Saat ini, di seluruh
dunia jumlah lanjut usia diperkirakan ada 500 juta dengan usia rata-rata 60
tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar. Di Negara maju
seperti Amerika Serikat pertambahan orang lanjut usia diperkirakan 1.000 orang
per hari pada tahun 1985 dan diperkirakan 50% dari penduduk berusia di atas 50
tahun sehingga istilah Baby Boom pada
masa lalu berganti menjadi “Ledakan Penduduk Lanjut Usia” (Padila, 2013).
Indonesia
termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging
structured population) karena dari tahun ke tahun, jumlah penduduk
Indonesia yang berusia 60 tahun ke atas semakin meningkat. Berdasarkan data
dari Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Kedeputian I Bidang
Kesejahteraan Sosial tahun 2008, jumlah penduduk lanjut usia pada tahun 1990
kurang lebih sebesar 6,29%, selanjutnya pada tahun 2000 sebesar 7,18% dan pada
tahun 2006 sebesar 8,9%. Persentase penduduk lansia tahun 2008, 2009 dan 2012
telah mencapai di atas 7% dari keseluruhan penduduk (Pusat Data & Informasi
Kementrian Kesehatan, 2013).
Jika
dilihat sebaran penduduk lansia menurut provinsi di Indonesia, persentase
penduduk lansia di atas 10% sekaligus paling tinggi ada di Provinsi DI
Yogyakarta (13,04%), Jawa Timur (10,40%), Jawa Tengah (10,34%), Bali (9,78%),
Sulawesi Utara (8,45%), dan Sulawesi Selatan (8,34%) (Pusat Data &
Informasi Kementrian Kesehatan, 2013).
Jumlah
lanjut usia di Kota Makassar hingga tahun 2013 yaitu 28. 788 jiwa untuk lansia
yang berusia 60-64 tahun. Dan 45. 955 jiwa untuk lansia yang berusia 65 tahun
ke atas (Profil Dinas Kesehatan Kota Makassar, 2013).
Manusia yang muda
menjadi tua merupakan proses penuaan secara alamiah yang tidak bisa kita hindari
dan merupakan hukum alam. Akibat dari proses tersebut menimbulkan beberapa
perubahan, meliputi perubahan fisik, mental, spiritual, psikososial, dan
adaptasi terhadap stres mulai menurun. Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia
permasalahan yang menarik adalah kurangnya kemampuan dalam beradaptasi secara
psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya. Penurunan kemampuan
beradaptasi terhadap perubahan dan stres lingkungan sering menyebabkan gangguan
psikososial pada lansia. Masalah kesehatan jiwa yang sering muncul pada lansia
adalah gangguan proses pikir, demensia, gangguan perasaan seperti depresi,
harga diri rendah, gangguan fisik dan gangguan perilaku (Azizah, 2011).
Depresi merupakan
penyakit serius yang diderita jutaan orang dengan berbagai macam gejala.
Menurut data Badan Kesehatan Dunia, saat ini sekitar 5-10% orang di dunia
mengalami depresi. Penelitian yang dilakukan Persatuan Dokter Spesialis
Kesehatan Jiwa menunjukkan, sebagian besar masyarakat Indonesia mengidap
depresi tingkat yang ringan sampai berat. Hasil penelitian dokter kesehatan
jiwa menunjukkan 94% masyarakat saat ini mengidap depresi. Depresi dapat
mengenai seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan status sosial, ekonomi,
dan pendidikan. Bahkan menurut World
Health Organization (WHO), depresi adalah masalah yang serius karena
merupakan urutan keempat penyakit dunia. Sekitar 20% wanita dan 12% pria, pada
suatu waktu dalam kehidupannya pernah mengalami depresi (Rezki, 2014).
Depresi pada lanjut
usia terus menjadi masalah kesehatan mental yang serius meskipun pemahaman kita
tentang penyebab depresi dan perkembangan pengobatan farmakologis dan
psikoterapeutik sudah sedemikian maju. Gejala depresi ini sering berhubungan
dengan penyesuaian yang terhambat terhadap kehilangan dalam hidup dan stressor. Stressor pencetus seperti
pensiun yang terpaksa, kematian pasangan, kemunduran kemampuan atau kekuatan
fisik dan kemunduran kesehatan serta penyakit fisik, kedudukan sosial,
keuangan, penghasilan, dan rumah tinggal sehingga mempengaruhi rasa aman lansia
dan menyebabkan depresi (Friedman, 1998 dalam Azizah 2011).
Di Indonesia
prevalensi depresi pada lansia tinggi sekali, sekitar 12-36% lansia yang
menjalani rawat jalan mengalami depresi. Angka ini meningkat menjadi 30-50%
pada lansia dengan penyakit kronis dan perawatan lama yang mengalami depresi
(Mangoenprasodjo, 2004). Menurut Kaplan et all (1997), kira-kira 25% komunitas
lanjut usia dan pasien rumah perawatan ditemukan adanya gejala depresi pada
lansia. Depresi menyerang 10-15% lansia 65 tahun keatas yang tinggal di
keluarga dan angka depresi meningkat secara drastis pada lansia yang tinggal di
institusi, dengan sekitar 50-75% penghuni perawatan jangka panjang memiliki
gejala depresi ringan sampai sedang
(Stanley & Beare, 2007 dalam Azizah 2011).
Berdasarkan data yang
diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan tahun 2013, Provinsi Sulawesi Selatan menempati urutan kelima sebagai
provinsi dengan jumlah atau persentase lansia tertinggi di Indonesia yaitu
sebanyak 8,34%. Dari jumlah tersebut 3% diantaranya menderita suatu penyakit
seperti penyakit degeneratif, penyakit sitemik, penyakit infeksi, penyakit
kronik, dan gangguan psikososial. Gangguan psikososial yang sering dialami oleh
lansia adalah depresi. Jumlah penderita depresi pada lansia pada tahun
2012-2013 di Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 1,23% dari 8,34% jumlah
penduduk lansia (Pusat Data & Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2013).
Khusus di Kota
Makassar, berdasarkan data yang diperoleh dari Profil Dinas Kesehatan Kota
Makassar tahun 2013 dperkirakan jumlah penderita depresi pada lansia terus
meningkat sekitar 1-3% setiap tahun. Mengingat usia harapan hidup yang juga
semakin meningkat. Sekitar 25% lansia tinggal di institusi atau panti sosial
dan 75% lansia tinggal di komunitas atau bersama keluarga. Depresi pada lansia
lebih sering terjadi pada lansia yang tinggal di intitusi dibandingkan dengan
lansia yang tinggal di komunitas atau bersama keluarga (Profil Dinas Kesehatan
Kota Makassar, 2013).
Keluarga sebagai sumber
alamiah dukungan sosial dapat memberikan empat bentuk dukungan bagi lansia
yaitu dukungan emosional, instrumental, informasional, dan penghargaan
(Friedman, 1998; Langford et all dalam Johnston, Brosi, Hermann & Jaco,
2011). Dukungan emosional dapat diberikan keluarga dalam bentuk perhatian,
empati, sikap memahami dan memberikan kasih sayang kepada lansia (Weiss dalam
Kuntjoro, 2002). Dukungan instrumental merupakan dukungan yang diberikan secara
langsung dapat berupa materi atau fasilitas yang menunjang kualitas hidup
lansia. Dukungan informasional dapat ditujukkan dengan memberikan informasi,
nasihat ataupun saran pada lansia baik mengenai masalah kesehatan maupun masalah kesehatan lain yang mengganggu
kualitas hidup lansia. Dukungan penilaian (appraisal)
dapat diberikan dalam bentuk penilaian positif terhadap lansia, penguatan, atau
pembenaran melakukan sesuatu (Yusselda, 2013).
Segala bentuk
dukungan keluarga yang diberikan kepada lansia secara signifikan mempengaruhi
fungsi psikososial lansia, karena dengan adanya dukungan anggota keluarga dapat
mempengaruhi kemampuan lansia untuk koping dan stres yang dialami lansia.
Penelitian menemukan secara konsisten menemukan bahwa adanya dukungan keluarga
dapat melindungi lansia dari efek stres yang berbahaya, serta dapat
meningkatkan kesejahteraan fisik dan emosional lansia (Jang et al. dalam
Miller, 2004). Sebuah studi di Hongkong oleh Wan pada tahun 1997 menemukan tiga
faktor mempengaruhi kualitas hidup lansia, yaitu kesehatan yang baik,
pendapatan, serta dukungan sosial (Chu, 2008). Penelitian lebih jauh pada
lansia di Brazil menemukan bahwa status, kesehatan, keterlibatan sosial,
dukungan sosial dari anggota keluarga, dan kondisi ekonomi merupakan determinan
kualitas hidup pada lansia (Manabung, 2009).
Berdasarkan survey
awal peneliti yang dilaksanakan pada tanggal 3 November 2014 bahwa jumlah
lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas Pampang yang berusia > 60 tahun
adalah sebanyak 2501 jiwa. Data tersebut diperoleh dari Sistem Pencatatan dan
Pelaporan Terpadu kesehatan lanjut usia Puskesmas Pampang. Berdasarkan
keterangan programmer kesehatan lanjut usia Puskesmas Pampang, bahwa sebanyak
12 orang lanjut usia yang tinggal sendiri dan sisanya 2.489 orang lanjut usia
tinggal bersama anggota keluarganya (SP2TP Puskesmas Pampang, 2014).
Jumlah penderita
depresi yang tercatat di wilayah kerja Puskesmas Pampang hingga Oktober 2014
adalah sebanyak 65 orang dan sepertiganya atau sebanyak 21 orang merupakan
lanjut usia dengan tingkat depresi sedang sampai berat. Dan terdapat 11 orang
penderita depresi usia > 60 tahun (SP2TP Puskesmas Pampang, 2014).
Berdasarkan uraian
tersebut maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian “Hubungan
Dukungan Keluarga dengan Kejadian Depresi pada Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas
Pampang Kecamatan Panakukkang Kota Makassar”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian
singkat pada latar belakang, memberi dasar bagi penulis untuk merumuskan
masalah penelitian sebagai berikut : “Apakah ada hubungan yang signifikan antara
dukungan keluarga dengan kejadian depresi pada lanjut usia di wilayah kerja
Puskesmas Pampang ?”.
C.
Tujuan Penelitian
1.
Tujuan umum
Diketahuinya hubungan yang signifikan
antara dukungan keluarga dengan kejadian
depresi pada lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas Pampang.
2.
Tujuan khusus
a.
Diketahuinya hubungan yang
signifikan antara dukungan emosional dengan kejadian depresi pada lanjut usia
di wilayah kerja Puskesmas Pampang.
b.
Diketahuinya hubungan yang
signifikan antara dukungan penghargaan dengan kejadian depresi pada lanjut usia
di wilayah kerja Puskesmas Pampang.
c.
Diketahuinya hubungan yang
signifikan antara dukungan instrumental dengan kejadian depresi pada lanjut
usia di wilayah kerja Puskesmas Pampang.
d.
Diketahuinya hubungan yang
signifikan antara dukungan informasional dengan kejadian depresi pada lanjut
usia di wilayah kerja Puskesmas Pampang.
D.
Manfaat Penelitian
1.
Bagi institusi pendidikan
Dapat digunakan
untuk menambah khasanah ilmu keperawatan jiwa dan dapat dimanfaatkan sebagai
referensi atau acuan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan hubungan
dukungan keluarga dengan kejadian depresi pada lanjut usia.
2.
Bagi perawat
Sebagai upaya
pengembangan keilmuan keperawatan jiwa, sehingga mampu mengkaji hubungan
dukungan keluarga dengan kejadian depresi pada lanjut usia dan melakukan upaya pencegahan
depresi pada lanjut usia sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dalam
pengembangan ilmu dan kiat keperawatan demi tercapainya derajat kesehatan
masyarakat khususnya lansia yang optimal.
3.
Bagi peneliti
Menambah wawasan
peneliti tentang hubungan antara dukungan keluarga dengan kejadian depresi pada
lanjut usia, sehingga dapat memberikan penanganan yang optimal dan memberikan
sumbangan pemikiran mengenai gangguan depresi yang terjadi pada lanjut usia.
4.
Bagi keluarga dan lanjut usia
Dapat memberikan
pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya dukungan keluarga agar dapat
mencegah terjadinya depresi pada lanjut usia.
Ingin
mendapatkan selengkapnya hubungi : mukminsaid@gmail.com
atau tinggalkan pesan anda.
SKRIPSI HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KETERATURAN BEROBAT PADA PENDERITA TB PARU
ABSTRAK
Mukmin. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Keteraturan Berobat pada
Penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Pampang Kota Makassar (dibimbing
oleh Darwis dan Musdalifah Hanis).
Penyakit tuberkulosis paru
(TB paru) merupakan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis yang menyerang paru-paru dan bronkus. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan keteraturan berobat pada
penderita TB paru. Desain
penelitian yang digunakan adalah desain kuantitatif noneksperimen dengan menggunakan pendekatan cross
sectional. Populasi pada penelitian
ini berjumlah 61 orang dengan jumlah sampel sebanyak 38 orang. Hasil dari
penelitian ini adalah terdapat 7 orang (18,41%) penderita TB paru yang tidak
teratur berobat dan 31 orang (81,57%) teratur dalam menjalani pengobatan.
Responden dengan dukungan emosional tinggi sebanyak 29 orang (76,31%)
dan rendah sebanyak 9 orang (23,68%). Responden dengan dukungan penghargaan
tinggi sebanyak 30 orang (78,94%) dan rendah sebanyak 8 orang (21,05%). Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
uji chi-square dengan tingkat
kemaknaan α = 0,05. Kesimpulan
dari penelitian ini bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan
emosional dan dukungan penghargaan dengan keteraturan berobat pada penderita TB
paru. Dan tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan instrumental dan
informasi dengan keteraturan berobat pada penderita TB paru. Saran bagi
keluarga dan masyarakat khususnya anggota keluarga yang tinggal bersama dengan
penderita TB paru agar lebih memperhatikan kebutuhan yang diperlukan penderita
dengan memberikan dukungan dan motivasi serta pengawasan agar tetap konsisten
dalam menjalani pengobatan.
Kata
Kunci : Keteraturan Berobat, Dukungan
Emosional, Dukungan Penghargaan,
Dukungan
Instrumental, Dukungan Informasi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis paru (TB paru) merupakan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis yang menyerang paru-paru dan bronkus. Pengendalian penurunan
TB Paru menjadi salah satu target dalam pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) yang menjadi salah satu
prioritas utama bangsa Indonesia untuk
mempercepat pembangunan manusia dan pemberantasan kemiskinan. TB Paru masuk
pada poin 6 MDGs setelah penyakit HIV/AIDS dan Malaria. Target yang ingin
dicapai adalah mengurangi separuh prevalensi TB dan kematian akibat TB pada
tahun 2015 (Widyanto & Triwibowo, 2013).
Penyakit Tuberkulosis paru telah dikenal lebih dari satu abad
yang lalu, yakni sejak ditemukannya kuman penyebab Tuberkulosis oleh Robert
Koch tahun 1882, namun sampai saat ini penyakit Tuberkulosis (TB) masih tetap
menjadi problema kesehatan di seluruh dunia dan sebagai penyebab kematian utama
yang diakibatkan oleh penyakit infeksi. Pada April 1993 World Health Organization (WHO) menyatakan TB sebagai suatu
problema kesehatan masyarakat yang sangat penting dan serius di seluruh dunia
serta merupakan penyakit yang menyebabkan kedaruratan global (Global Emergency), karena satu dari 3
penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi dengan Mycobacterium tuberkulosis (disebut juga Basil Tahan Asam = BTA)
sebagai kuman penyebab TB yang dibuktikan dengan pemeriksaan Mantoux tes 2. Sekitar 95% penderita TB
terdapat di negara sedang berkembang dengan sosioekonomi rendah termasuk
Indonesia dan 75% dari penderita TB tersebut terjadi pada usia produktif.
Setiap tahun terdapat sekitar 4 juta penderita baru TB paru menular di dunia.
Menurut WHO diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 8,74 juta penderita baru TB
dan akan menjadi 10,2 juta penderita baru TB pada tahun 2005. Di kawasan Asia
Tenggara diduga terjadi lebih dari 3,5 juta penderita baru TB dan lebih dari
1,3 juta kematian akibat penyakit ini, dan diperkirakan pada tahun 2005
terdapat 3 juta penderita baru TB (Hutapea, 2009).
Secara global, tahun 2000 tercatat sebanyak 8,3 juta orang
menderita TB Paru. Data tahun 2006 menunjukan sebanyak 9,24 juta orang
menderita TB Paru. Pada tahun 2008 terdapat sebanyak 9,4 juta penderita baru TB
Paru dari sebelumnya berjumlah 9,27 juta pada akhir tahun 2007. Data-data
tersebut menunjukan bahwa angka kejadian TB Paru semakin meningkat setiap
tahunnya (Widyanto & Triwibowo, 2013).
WHO dalam global
tuberculosis control tahun 2009 pernah merilis bahwa Indonesia pernah
menempati urutan ketiga sebagai Negara dengan jumlah kasus TB Paru terbanyak
setelah India dan Cina sampai akhir periode 2007. Berdasarkan hasil Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2010, TB paru merupakan pembunuh nomor satu
diantara penyakit menular dan merupakan peringkat tiga dalam daftar sepuluh penyakit
pembunuh tertinggi di Indonesia yang menyebabkan sebesar 88.000 kematian setiap
tahunnya. Dinegara-negara berkembang kematian penderita penyakit TB paru
merupakan 25% dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Laporan WHO
pada tahun 2010, mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan
jumlah penderita TB paru sebesar 429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah
terbesar pada tahun 2010 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan
Indonesia (Kompas, 2011).
Penderita TB paru yang tercatat di Provinsi Sulawesi Selatan
pada tahun 20011 sebanyak 4.626 suspek (penemuan kasus baru sebanyak 2.167
orang dan kasus lama sebanyak 17 orang), dengan angka kesembuhan sebesar 61,5%.
Bila dilihat menurut tempatnya, jumlah suspek terbanyak ditemukan di Kota
Makassar (16,48%), Gowa (4,79%), Wajo (3,94%), Takalar (3,38%) dan Soppeng
(2,34%) (Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan).
Khusus di Kota Makassar, berdasarkan data yang diperoleh dari
Bidang Bina Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota
Makassar, angka penemuan penderita baru TB Paru BTA (+) tahun 2013 sebanyak
72,44 % (ditemukan 1.811 penderita dari sebanyak 2.500 sasaran), jumlah ini
meningkat dari tahun 2012 dengan jumlah penderita sebanyak 1.324 dari 1.641
sasaran. Jika dibandingkan target 2013 sebesar 70% maka tingkat capaian
melebihi target dengan persentase capaian 72,44%. Proses penemuan penyakit TB
dilakukan oleh pengelolah TB masing-masing Puskesmas melalui
pelacakan/pencarian kasus baru, pelacakan penderita mangkir dan pemeriksaan
kontak (Profil Dinas Kesehatan Kota Makassar, 2013).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Bina Pencegahan
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar, angka
penemuan penderita baru TB Paru BTA (+) tahun 2013 masih relatif tinggi
terutama pada 4 Puskesmas berikut : Puskesmas Kaluku Bodoa sebanyak 61 kasus baru dengan jumlah seluruh kasus
sebanyak 97 orang, Puskesmas Kassi-Kassi sebanyak 56 kasus baru dengan jumlah
seluruh kasus 108 orang, Puskesmas Tamalate sebanyak 38 kasus baru dengan
jumlah seluruh kasus sebanyak 81 orang , dan Puskesmas Pampang sebanyak 35
kasus baru dengan jumlah seluruh kasus sebanyak 63 orang (Profil Dinas
Kesehatan Kota Makassar, 2013).
Target penurunan angka kesakitan dan kematian
akibat TB paru dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangkah Menengah) 2010-2014
adalah 235 jumlah kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2010 menjadi 224 kasus
di tahun 2014, 73% jumlah kasus baru TB paru yang ditemukan pada tahun 2010
menjadi 90% di tahun 2014, dan 85% jumlah kasus baru TB paru (BTA positif) yang
berhasil disembuhkan pada tahun 2010 menjadi 88% di tahun 2014 (Stranas
Pengendalian TB Paru, 2010-2014).
Berdasarkan target pencapaian tersebut,
diharapkan jumlah kasus TB paru dapat
menurun, persentase kasus baru yang ditemukan meningkat, dan persentase
keberhasilan pengobatan TB paru (BTA positif) juga meningkat di seluruh daerah
di Indonesia. Puskesmas sebagai pusat pelayanan primer kesehatan masyarakat
diharapkan dapat mewujudkan target pencapaian RPJMN tersebut dengan terus
melakukan upaya agar dapat mengendalikan prevalensi TB paru dan meningkatkan
keberhasilan dalam pengobatan TB paru (BTA positif) tanpa ada penderita yang
gagal sembuh, meninggal ataupun DO (Drop
Out).
Puskesmas Pampang merupakan salah satu Puskesmas
dengan angka penderita TB Paru tertinggi keempat di Kota Makassar. Jumlah
seluruh kasus TB paru di Puskesmas Pampang tercatat pada bulan Januari sampai
dengan Juni 2014 adalah sebanyak 115 orang dinyatakan sebagai suspek TB
Paru. Dan 61 orang dinyatakan sebagai
pasien TB paru yang berobat jalan di Puskesmas Pampang hingga bulan Oktober.
Jumlah penderita yang masih melakukan pengobatan hingga bulan Desember sebanyak
34 orang, penderita sembuh sebanyak 14 orang, penderita yang gagal sembuh
sebanyak 6 orang, tidak ada pasien yang meninggal dunia atau pun pindah, dan
penderita yang mengalami drop out
(DO) sebanyak 7 orang (Catatan Program TB paru Puskesmas Pampang, Januari-Juni
2014).
Salah satu faktor penting yang dapat berkontribusi dalam
pengobatan TB paru yaitu dukungan dari keluarga kepada penderita. Dukungan
keluarga sangat menunjang dengan cara selalu mengingatkan penderita agar minum
obat, pengertian yang dalam terhadap penderita yang sedang sakit, dan memberi
semangat agar tetap rajin berobat diharapkan dapat menunjang keberhasilan
pengobatan TB paru. Dukungan keluarga diperlukan untuk mendorong penderita TB
paru dengan menunjukkan kepedulian dan simpati, dan merawat penderita. Dukungan
keluarga yang melibatkan keprihatinan emosional, bantuan dan penegasan, akan
membuat penderita TB paru tidak kesepian dalam menghadapi situasi serta
dukungan keluarga dapat memberdayakan penderita TB paru selama masa pengobatan
dengan mendukung terus menerus, seperti mengingatkan penderita untuk mengambil
obat-obatan dan menjadi peka terhadap penderita TB paru jika mereka mengalami
efek samping dari obat TB. Oleh karena itu, lemahnya dukungan keluarga dapat
menjadi salah satu faktor penyebab ketidakteraturan penderita TB paru dalam
melakukan pengobatan (Septia Asra, 2013).
Berdasarkan uraian singkat pada latar belakang
tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang
“Hubungan dukungan keluarga dengan keteraturan berobat pada penderita TB Paru
di wilayah kerja Puskesmas Pampang ?”
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat pada latar belakang, maka rumusan
masalah dari penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan
yang signifikan antara dukungan keluarga dengan keteraturan berobat pada
penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Pampang?”
C.
Tujuan Penelitian
1.
Tujuan umum
Diketahuinya hubungan yang
signifikan antara dukungan keluarga
dengan keteraturan berobat pada penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas
Pampang.
2.
Tujuan khusus
a.
Diketahuinya hubungan
yang signifikan antara dukungan emosional dengan keteraturan berobat pada penderita
TB Paru.
b.
Diketahuinya hubungan
yang signifikan antara dukungan penghargaan dengan keteraturan berobat pada
penderita TB Paru.
c.
Diketahuinya hubungan
yang signifikan antara dukungan instrumental dengan keteraturan berobat pada
penderita TB Paru.
d.
Diketahuinya hubungan
yang signifikan antara dukungan informasional dengan keteraturan berobat pada
penderita TB Paru.
D.
Manfaat Penelitian
1.
Bagi institusi pendidikan
Dapat digunakan untuk menambah khasanah ilmu keperawatan
komunitas dan dapat digunakan sebagai referensi atau acuan penelitian lanjutan
yang berkaitan dengan hubungan dukungan keluarga dengan keteraturan berobat
pada penderita TB Paru.
2.
Bagi keperawatan
Sebagai upaya pengembangan keilmuan keperawatan komunitas,
sehingga mampu mengkaji hubungan dukungan keluarga dengan keteraturan berobat
pada penderita TB Paru dan melakukan upaya pencegahan agar tidak terjadi
ketidakteraturan dan drop out dalam berobat sehingga dapat dijadikan sebagai
dasar dalam pengembangan ilmu dan kiat keperawatan demi tercapainya derajat
kesehatan masyarakat yang optimal.
3.
Bagi peneliti
Menambah wawasan peneliti
tentang hubungan antara dukungan keluarga dengan keteraturan berobat pada
penderita TB Paru sehingga dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk dijadikan
sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya.
4.
Bagi keluarga
Dapat memberikan pengetahuan
dan pemahaman keluarga tentang pentingnya dukungan keluarga agar tetap
memberikan dukungan dan motivasi kepada penderita TB Paru untuk tetap patuh dan
teratur dalam berobat demi tercapainya kesembuhan yang optimal.
Ingin mendapatkan lengkapnya hubungi : mukminsaid@gmail.com
atau tinggalkan pesan anda.
Subscribe to:
Comments (Atom)